Aceh dan Karo: Dari Kesultanan ke Republik


Pada masa jayanya, Kesultanan Aceh Darussalam berhasil memperluas pengaruhnya hingga ke wilayah pedalaman Sumatera Utara. Setelah melemahkan kekuasaan Samudera Pasai, Aceh memandang penting untuk mengamankan jalur strategis di Tanah Karo yang menjadi pintu ke dataran tinggi serta jalur dagang ke pedalaman. Upaya ini bukan sekadar ekspansi militer, melainkan juga integrasi politik dengan cara-cara yang khas dan berlandaskan adat setempat.

Salah satu tokoh Muslim Karo di era Samudera Pasai adalah Guru Kinayan yang dikenal menjadi panglima Pasai mengusir Armada Semerluka. Islam di Tanah Karo sebagian dari Pagaruyung sebagaimana dituliskan Pustaka Alim Kembaren yang sudah berinteraksi dengan Mekkah.

Raja Aceh pada suatu masa datang ke Lau Bahun, di antara Kampung Lingga dan Surbakti, dengan rombongan pengiring. Di tempat itu, ia mengumpulkan para raja lokal untuk menetapkan tata kepemimpinan baru. Namun Aceh tidak serta merta memaksakan kekuasaan secara paksa. Sebagai gantinya, dilakukan sebuah ujian adat dengan seekor kerbau bernama “sinangga lutu”. Para raja yang mampu menungganginya hingga kerbau itu tunduk akan diakui sebagai pemimpin.

Dari ujian unik itu, Raja Lingga keluar sebagai pemenang dan kemudian ditetapkan sebagai penguasa utama. Ia mendapat sebuah pisau bawar sebagai simbol legitimasi. Aceh kemudian menetapkan struktur kekuasaan baru di wilayah Karo dengan menunjuk kerajaan-kerajaan Lingga, Barus Jahe, Suka, dan Sarinembah sebagai “Raja Berempat”. Langkah ini memperlihatkan strategi Aceh dalam mengelola pedalaman dengan cara menghormati tradisi setempat sekaligus menanamkan pengaruhnya.

Seiring waktu, kerajaan Lingga berkembang sebagai pusat politik penting di Tanah Karo. Penguasa Lingga dimakamkan di Uruk Gungmbelin, sebuah bukit yang kemudian menjadi simbol kebesaran mereka. Kepemimpinan turun-temurun diteruskan melalui garis keturunan, dengan nama-nama seperti Ganci Raja, Katasenina, dan Pa Timbang Raja menjadi bagian dari silsilah yang panjang.

Masing-masing raja menghadapi dinamika berbeda. Ada yang memerintah dalam masa tenang, ada pula yang harus menghadapi perubahan besar akibat masuknya kekuatan kolonial. Namun yang jelas, struktur kepemimpinan di Tanah Karo sejak era pengaruh Aceh telah membentuk tradisi politik yang berlapis, memadukan adat dengan intervensi eksternal.

Memasuki abad ke-20, situasi mulai berubah drastis. Belanda perlahan menanamkan kekuasaan di Tanah Karo dan melakukan kristenisasi dan pemurtadan. Sekitar tahun 1905, mereka resmi masuk dan mulai menjalin hubungan dengan para penguasa lokal. Raja Rasingal dan Pa Terang kemudian diakui oleh Hindia Belanda sebagai raja Kerajaan Lingga dan daerah taklukannya.

Pengakuan ini diikuti dengan perjanjian pendek pada Desember 1907 yang semakin mengukuhkan keterikatan para penguasa dengan Belanda. Struktur kerajaan tetap ada, tetapi fungsinya semakin diarahkan untuk melayani kepentingan kolonial. Meski demikian, masyarakat Karo masih memandang raja sebagai simbol identitas, bukan semata perpanjangan tangan pemerintah kolonial.

Pada 1921, Pa Terang wafat. Rasingal atau Pa Sendi kemudian menjadi penguasa tunggal Lingga. Beberapa tahun kemudian, anak Pa Terang, Rajanta, ditetapkan sebagai perbapaan Urung Telu Kuru. Perubahan ini menunjukkan bagaimana Belanda masih mengatur suksesi dengan tujuan menjaga stabilitas kolonial.

Rasingal wafat pada 1934 dan digantikan oleh putranya, Raja Kelelong. Ia juga menandatangani perjanjian pendek dengan Belanda pada 25 Juli 1935. Meski secara formal masih berstatus raja, pengaruhnya semakin terbatas. Kerajaan lebih banyak berfungsi sebagai simbol tradisi yang dilekatkan pada sistem pemerintahan kolonial.

Ketika proklamasi kemerdekaan Indonesia dikumandangkan pada 17 Agustus 1945, semua struktur kerajaan di Tanah Karo mengalami perubahan drastis. Kerajaan-kerajaan yang sebelumnya diakui Belanda dilebur dalam sistem Republik. Raja Kelelong diangkat sebagai bupati Tanah Karo, tanda bahwa sistem kerajaan sudah tidak lagi menjadi bagian dari struktur politik resmi.

Namun transisi ini tidak selalu berjalan mulus. Banyak masyarakat menilai keberadaan bangunan kerajaan sebagai simbol feodalisme yang berhubungan erat dengan masa kolonial. Akibatnya, pada masa Agresi Belanda II, istana dan sisa-sisa bangunan kerajaan dibakar oleh rakyat. Tindakan itu dimaksudkan sebagai pemutusan simbolik dari masa lalu yang dianggap mengekang.

Raja Kelelong tetap dikenang sebagai figur transisi, penghubung antara era kerajaan dan republik. Ia meninggal pada 21 Januari 1963 dan dimakamkan di Uruk Gungmbelin, bersama para leluhurnya. Dengan demikian, jejak panjang kerajaan Lingga tetap terpatri meski secara formal tidak lagi berkuasa.

Warisan Aceh dalam mengatur wilayah pedalaman Karo tampak jelas dari awal kisah ini. Dengan strategi yang memadukan diplomasi, adat, dan simbol legitimasi, Aceh berhasil membangun struktur politik yang bertahan berabad-abad. Meski kemudian dikooptasi Belanda dan akhirnya dilebur ke dalam republik, fondasi tradisi itu tetap hidup dalam memori kolektif masyarakat Karo.

Perjalanan sejarah ini juga menggambarkan bagaimana Tanah Karo menjadi ruang pertemuan berbagai kekuatan: Aceh, Belanda, dan akhirnya Republik Indonesia. Setiap fase meninggalkan jejak berbeda, namun selalu ada benang merah yang menyatukan, yaitu peran masyarakat lokal dalam menjaga identitas dan struktur adat.


Kerajaan-kerajaan di Tanah Karo tidak hanya menjadi bagian dari sejarah lokal, melainkan juga sejarah nasional. Mereka adalah bukti bagaimana Aceh, sebagai salah satu kekuatan besar Nusantara, turut membentuk lanskap politik Sumatera Utara.

Hingga kini, kisah tentang kerbau sinangga lutu masih dikenang sebagai simbol cara Aceh menegakkan kepemimpinan di Tanah Karo. Tradisi ini menegaskan bahwa politik bukan hanya soal kekuasaan, tetapi juga tentang legitimasi adat yang diterima masyarakat.

Dengan lenyapnya kerajaan setelah kemerdekaan, Tanah Karo memasuki era baru. Namun, memori tentang Aceh, Belanda, dan kerajaan lokal tetap menjadi bagian penting dari identitas sejarahnya. Setiap lapisan waktu meninggalkan jejak yang membentuk wajah Karo hari ini.

Dari masa hegemonik Aceh, kolonialisme Belanda, hingga republik merdeka, Tanah Karo selalu mampu beradaptasi. Meski kerajaan hilang secara formal, warisan adat dan simbol-simbol lama masih bertahan dalam kehidupan sehari-hari.

Perjalanan panjang itu menunjukkan bahwa sejarah Tanah Karo adalah cermin dinamika kekuasaan Nusantara. Dari Aceh hingga republik, masyarakat Karo selalu menjadi bagian dari cerita besar Indonesia.

Dan pada akhirnya, meskipun istana telah lenyap dan kerajaan hanya tinggal nama, kisah mereka tetap hidup dalam ingatan rakyat. Sejarah itu bukan sekadar masa lalu, tetapi fondasi identitas yang menghubungkan Karo dengan Aceh, Sumatera Utara, dan Indonesia secara keseluruhan.

Baca selanjutnya

Posting Komentar

0 Komentar